Peristiwa tentang sejarah di Indonesia
banyak sekali yang terjadi, dari zaman penjajahan belanda sampai penjajahan
jepang. Kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia dengan cara menjajah ini banyak
sekali yang meninggalkan bekas di kebudayaan kita sekarang ini. dari bangunan
bekas colonial belanda, dan senjata senjata yang digunakan para penjajah untuk
menakuti para pribumi. Adapun penjara penjara yang dibangun belanda untuk
menahan warga pribumi yang membangkang.
Banyaknya sejarah yang ada di
Indonesia yang lebih tepatnya di Jakarta yaitu membuat para pribumi membuat
sebuah museum untuk mengenal pengorbanan dan kejahatan penjajahan pada masa
itu. Mereka membuat banyak museum dan ada juga
bangunan bekas hunian para colonial belanda yang menetap dijakarta yang
dijadikan museum.
Dari sekian banyak museum dijakarta,
kali ini saya akan membahas tentang museum fatahilah. Yaitu museum yang
bangunannya khas dengan kebudayaan belanda pada masa itu, selain fatahilah juga
masih banyak museum dijakarta terutama di daerah kota tua. Contohnya seperti
museum bank Indonesia, museum wayang, dan museum keramik dll.
Saya tertarik dengan museum fatahillah
karna begitu saya kesana kita akan melihat arsitektur yang khas dengan bangunan
belanda zaman dahulu dan masih erat dengan kebudayaan Indonesia dulu, akan
tetapi yang saya tidak suka dari tempat museum bersejarah di Indonesia akan
selalu ada orang orang yang berjualan di pelataran museum sehingga kita susah
menikmati keindahan museum tersebut dan seharusnya para pedagang diberikan
tempat khusus untuk berdagang bukan di pelataran museum.
Kita
akan membahas tentang sejarah museum fatahillah dan tentang asal muasal
bangunan ini dibuat. Museum Fatahillah memiliki
nama resmi Museum Sejarah Jakarta adalah sebuah museum yang
terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat dengan
luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Bangunan ini dahulu
merupakan balai kota Batavia (bahasa Belanda: Stadhuis van Batavia) yang
dibangun pada tahun 1707-1712 atas perintah Gubernur-Jendral Joan van Hoorn. Bangunan ini
menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas
bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan
sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah
tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Museum
Fatahillah.
Pada
awal mulanya, balai kota pertama di Batavia dibangun pada tahun 1620 di tepi timur Kali
Besar. Bangunan ini hanya bertahan selama
enam tahun sebelum akhirnya dibongkar demi menghadapi serangan dari pasukan Sultan Agung
pada tahun 1626. Sebagai gantinya, dibangunlah
kembali balai kota tersebut atas perintah Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen di tahun 1627. Lokasinya berada di daerah Nieuwe Markt (sekarang Taman
Fatahillah). Menurut catatan sejarah, balai kota kedua ini hanya
bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi balai kota sangat buruk. Tanah di kota Batavia
yang sangat labil dan beratnya bangunan ini menyebabkan perlahan-lahan turun
dari permukaan tanah.
Akhirnya
pada tahun 1707, atas perintah Gubernur-Jenderal Joan
van Hoorn, bangunan ini dibongkar dan
dibangun ulang dengan menggunakan pondasi yang sama. Peresmian Balai kota
ketiga dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck pada tanggal 10
Juli 1710, dua tahun sebelum bangunan ini selesai secara
keseluruhan. Selama dua abad, balai kota Batavia ini digunakan sebagai
kantor administrasi kota Batavia. Selain itu juga digunakan sebagai
tempat College van Schepenen (Dewan Kotapraja) dan Raad
van Justitie (Dewan Pengadilan). Awalnya sidang Dewan Pengadilan
dilakukan di dalam Kastil Batavia. Namun dipindahkan ke sayap timur balai kota
dan kemudian dipindahkan ke gedung pengadilan yang baru pada tahun 1870.
Balai
kota Batavia juga mempunyai ruang tahanan yang pada masa VOC dijadikan penjara
utama di kota Batavia. Sebuah bangunan bertingkat satu pernah berdiri di
belakang balai kota sebagai penjara. Penjara tersebut dikhususkan kepada para
tahanan yang mampu membiayai kamar tahanan mereka sendiri. Namun berbeda dengan
penjara yang berada di bawah gedung utama. Hampir tidak ada ventilasi dan
minimnya cahaya penerangan hingga akhirnya banyak tahanan yang meninggal
sebelum diadili di Dewan Pengadilan. Sebagian besar dari mereka meninggal
karena menderita kolera, tifus dan kekurangan oksigen. Penjara di balai kota
pun ditutup pada tahun 1846 dan dipindahkan ke sebelah timur Molenvliet Oost.
Beberapa tahanan yang pernah menempati penjara balai kota adalah bekas Gubernur
Jenderal Belanda di Sri Lanka Petrus Vuyst, Untung
Suropati dan Pangeran
Diponegoro.
Di
akhir abad ke-19, kota Batavia mulai meluas ke wilayah selatan. Sehingga
kedudukan kota Batavia ditingkatkan menjadi Gemeente Batavia.
Akibat perluasan kota Batavia, aktivitas balai kota Batavia dipindahkan pada
tahun 1913 ke Tanah Abang West (sekarang jalan Abdul Muis No. 35,
Jakarta Pusat) dan dipindahkan lagi ke Koningsplein Zuid pada tahun 1919 (sekarang Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9, Jakarta
Pusat) sampai saat ini. Bekas bangunan balai kota kemudian dijadikan
Kantor Pemerintah Jawa Barat sampai tahun 1942. Selama masa pendudukan Jepang, bangunan ini dipakai untuk
kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini
kembali digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat disamping
ditempati markas Komando Militer Kota I sampai tahun 1961. Setelah itu digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi
DCI Djakarta. Di tahun 1970,
bangunan bekas balai kota Batavia ini ditetapkan sebagai bangunan Cagar
Budaya. Setelah itu Gubernur DKI Jakarta pada masa itu Ali
Sadikin merenovasi seluruh bangunan
ini dan diresmikan pada tanggal 30
Maret 1974 sebagai Museum Sejarah Jakarta.
Seperti
umumnya di Eropa, balai kota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan Stadhuisplein.
Menurut sebuah lukisan yang dibuat oleh Johannes
Rach, di tengah lapangan tersebut
terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi
masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan
dengan pipa menuju Stadhuiplein. Tetapi air mancur tersebut hilang pada abad
ke-19. Pada tahun 1972,
diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur
lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun
kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah
Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman
tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang
panglima Fatahillah pendiri kota Jayakarta.
Arsitektur
museum ini pun sangat menarik karna Arsitektur bangunannya bergaya Neoklasik dengan
tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati
berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.Museum
ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan
konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
Sekian dari pengalam yang saya
ketahui tentang museum fatahillah yang ada dijakarta, mengapa saya sangat
perduli dengan museum karna disanalah kita mengerti akan perjuangan rakyat
Indonesia untuk merebut kemerdekaan yang kita idam idamkan selama kurang lebih
340 tahun dan akhirnya baru tercapai ketika semua rakyat indonesa bersatu
melawan colonial belanda di Indonesia ini terutama dijakarta ini ibukota Indonesia.